HARI Raya Idul Fitri adalah hari Raya kemenangan bagi umat Islam, yang telah dengan sukses berperang melawan hawa nafsu selama satu bulan penuh, dengan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
Ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa”(Qs.Al-Baqarah:183).
Melawan hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW sebagai sebuah perang besar, melebihi dahsyatnya perang Badar sekalipun.
Idul fitri secara harfiah adalah kembali kepada fitrah, yaitu kesucian sebagaimana digambarkan dalam salah satu hadist Nabi: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, maka diampunkan segala dosanya yang telah lalu, sehingga ia menjadi orang sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya”.
Bersih dari noda dan dosa seperti halnya kertas putih kosong yang belum tersentuh dan ternoda oleh sesuatu apapun juga. Disebut kembali kepada fitrah yaitu kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
Setiap orang yang lahir ke dunia adalah dalam keadaan fitrah, maka kedua Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan bahkan Majusi. (H.R. Bukhari).
Dengan ibadah puasa Ramadhan yang dijalankan selama satu bulan penuh, umat Islam kembali lagi kepada fitrahnya semula yaitu bersih dari noda dan dosa.
Insan Baru
Ibadah puasa Ramadhan yang dilaksanakan selama satu bulan penuh, secara teoritis, telah membawa umat Islam mencapai derajat tertinggi di sisi Allah SWT yaitu predikat taqwa.
Taqwa dijadikan sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT, sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling tinggi derajat ketaqwaannya. Taqwa oleh para ulama didefenisi- kan dengan “Melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangannya”.
Dengan demikian, predikat taqwa telah mengantarkan seseorang kepada ketundukan dan kepatuhan tertinggi kepada Allah SWT, yang dibuktikan secara aktif dalam bentuk tindakan nyata.
Puasa sebenarnya adalah ibadah kuno yang telah disyari’atkan kepada umat manusia, jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Ada yang mengatakan pensyari’atannya sejak Nabi Ibrahim AS dan ada yang berpendapat justru lebih jauh dari itu, yaitu sejak Nabi Adam AS.
Berbeda dengan ibadah Sholat, yang disyari’atkan justru setelah Nabi Muhammad SAW melaksanakan Isra’ Mi’raj. Kalaupun ada Sholat sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, itu bentuknya adalah zikir dan tahannuts (menyendiri dan merenung) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw di Gua Hiro.
Berbeda dengan ibadah puasa, dimana bentuk dan tata caranya, dari dulu sampai sekarang adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah kebutuhan setiap umat manusia, dari dulu sampai sekarang dan bahkan sampai pada masa yang akan datang.
Hal ini juga dibuktikan dengan setiap orang yang akan diambil sampel darahnya, pasti terlebih dahulu disuruh berpuasa antara 9 sampai dengan 10 jam, sebab orang yang berpuasa darahnya stabil, tidak naik turun, sehingga dapat diukur secara akurat.
Puasa selain dilaksanakan oleh umat manusia, juga dilaksanakan oleh mekhluq Tuhan lainnya seperti binatang. Sebagai contoh, induk ayam melaksanakan aktifitas puasa selama ayam tersebut mengerami telurnya.
Dengan puasanya itu, memudahkan baginya mengerami sekaligus menetaskan telurnya, sehingga dia mendapatkan anak keturunannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh ular. Ular ketika hendak berganti kulit, supaya penampilan dan gerakannya lebih lincah, maka sang ularpun melaksanakan puasa. Tanpa puasa, maka ularpun tak dapat berganti kulit.
Jika tak berganti kulit, maka penampilannya tidak cantik dan gerakannyapun tidak lincah.
Binatang lainnya yang melaksanakan puasa adalah kepompong.
Kepompong berasal dari ulat melata yang jelek lagi menjijikkan dan bahkan tidak disukai manusia, sebab kalau bersentuhan dengan- nya, maka kulit akan terasa gatal. Ulat melak- sanakan puasa, dengan menggulungkan dirinya kedalam daun, sehingga dia berubah jadi kepom- pong.
Setelah jadi kepompong, sang ulatpun terus melaksanakan aktifitas puasanya, sehingga dia berubah menjadi kupu-kupu cantik yang disukai oleh semua orang, sebab badannya langsing, war- nanya indah, gerakannya lincah, sedap dipandang mata.
Tidak sedikit orang yang berusaha menang- kap dan mengawetkannya, sebab indah dijadikan hiasan dan hargamnyapun jadi mahal. Sang ulat yang tadinya menjijikkan, kini telah berubah men- jadi makhluq baru yang disukai dan mahal har- ganya, yaitu makhluk bernama “sutra.”
Orang yang melaksanakan ibadah puasapun pada dasarnya seperti itu. Jika puasanya benar- benar dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam, maka pelakunya akan berubah, lahir menjadi ma- nusia baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Lahirnya sang manusia baru, dengan predikat muttaqien itu, sebelumnya telah mengendalikan kemauan fisiknya dengan menahan makan, minum dan melakukan hubungan suami istri pada siang hari, pikirannya juga dikendalikan dari pikiran- pikiran negative, akal bulus dan maksud jahat lainnya.
Terakhir, jiwanya juga telah dikendalikan dan digembelng secara spiritual dan ruhani, sehingga dapat menangkal hal-hal negative yang akan terjadi pada dirinya.
Pertanyaannya sekarang adalah : Sudahkah kita menjadi insan baru, setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, sebagaimana halnya para binatang yang melahirkan generasi baru seperti halnya induk ayam yang mengerami telurnya, menjadi baru dan berpenam- pilan baru sebagaimana halnya ular, dan bahkan berbentuk binatang baru sebagaimana halnya ulat.
Jangan-jangan kita tidak mengalami perubahan apa- apa pasca puasa Ramadhan. Bukankah itu pertanda, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa kita (manusia) lebih sesat daripada binatang. Betapa tidak, binatang saja berubah, kenapa kita (manusia) tidak bisa berubah.
Jawabannya adalah tanyakan pada diri sendiri. Bertanya pada diri sendiri adalah tindakan tahu diri, sadar diri, dan tahan diri. Tindakan demikian jauh lebih efektif daripada meminta ban- tuan seniman panggung sekeliber Ebit G. Ade seka- lipun, kalau hanya untuk bertanya kepada “rumput yang bergoyang.” Jelas sia-sia belaka!
Wallahu a’lam. ***
________
Penulis: Dr. H. Ahmad Supardi Hasibuan, M.A.
(Kepala Biro AUAK IAIN Metro)
Komentar Anda :