Sabtu, 27 April 2024
Pelaku Pembunuhan Wanita Tanpa Busana di Kampar Ditangkap, Ini Motifnya | 1.500 CJH Riau Ikuti Launching Senam Haji dan Launching Batik Haji | Sambut Tokoh-tokoh Kampar di Pekanbaru, Pj Bupati Dukung Bagholek Godang Masyarakat Kampar | Polsek Tambang Tangkap Pelaku Narkoba di Depan SPBU Rimbo Panjang | Mantan Bupati Inhil Indra Muchlis Adnan Meninggal Dunia, Pj Gubri Sampaikan Ucapan Duka | Kapolda Riau M Iqbal: Jangan Ada Lagi Diksi Kampung Narkoba di Pekanbaru, Sikat Habis!
 
Religi
Opini
Puasa “Satu Rasa” Ramadan

Religi - - Minggu, 03/03/2024 - 06:38:56 WIB

IBADAH Puasa Ramadan yang diwajibkan setahun sekali (selama sebulan) menimbulkan beragam sikap umat Islam dalam menghadapinya.

Ada yang merasa gembira, biasa saja, atau malah susah. Yang merasa gembira karena sadar bahwa ia akan mendapatkan gelar taqwa ketika menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan baik.

Adapula yang merasa biasa saja sebab tidak memiliki target ketaqwaan yang lebih baik. Sedangkan yang merasa susah karena menganggap puasa dapat menyiksa dirinya akibat seharian tidak bisa melakukan hal yang dirasa enak.

Makanya yang dipanggil untuk menunaikan ibadah puasa dibulan Ramadan ini hanyalah orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Allah;

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S Al-Baqarah: 183)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Puasa adalah menahan diri dari makan/bicara/berjalan. Puasa mutlak biasanya didefinisikan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan tujuan taat Kepada Allah SWT dengan niat khusus.

Puasa lain, membatasi makanan tertentu atau zat. Praktik puasa dapat menghalangi aktivitas seksual dan lainnya serta makanan.

Adapun arti Ramadan diambil dalam bahasa Arab yaitu  ramada atau ar-ramad yang berarti pembakaran.

Penentuan puasa awal Ramadan berdasarkan hadist Rasulullah SAW  adalah, "Berpuasalah kalian dengan melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa) dengan melihat hilal. Bila ia tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari," (HR Bukhari dan Muslim).

“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).

Karena itu, barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain.

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.“ (Q.S Al-Baqarah:185)

Keistimewaan Ibadah Puasa
Sebagai salah satu rukun Islam, ibadah puasa pada bulan Ramadan sangatlah istimewa.

Dengan berpuasa, kita semua memiliki hubungan yang sangat privat dengan Allah SWT berbeda dengan ibadah-ibadah lain pada umumnya.

Karena itu, puasa menjadi satu-satunya ritual ibadah yang mendapatkan balasan langsung dari-Nya secara sangat spesial.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits qudsi, yang artinya, “Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa hanya untuk-Ku (Allah), dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).

Berdasarkan hadits ini, Syekh Abul Hasan Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa puasa merupakan ibadah khas yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan orang yang menjalaninya semata.

Karena itu, puasa menjadi satu-satunya ibadah yang paling minim bercampur dengan sifat riya (ingin dipuji), sebab dimensi puasa adalah niat dalam hati, bukan gerakan anggota badan sebagaimana ibadah lainnya. (Syekh Abul Hasan, Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatil Mashabih, [Beirut, DKI], juz VI, halaman 406).

Ibadah Dimensi Sosial yang Nyata

Ibadah puasa itu sesungguhnya untuk Allah, akan tetapi ibadah ini memiliki dimensi sosial yang sangat nyata.

Puasa dengan mengendalikan seluruh nafsu dan segala macam bentuk egosentrisme, adalah refleksi dari keseriusan menuju keridloan Allah, tetapi ketika manusia mengendurkan egonya dan mengendalikan nafsunya itulah, dia menjadi solider menjadi peduli terhadap sesamanya.

Apalagi bagi kaum yang serba berkecukupan, rasa lapar dan dahaga akan mengingatkan pada penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh fakir miskin sepanjang hidupnya.

Ciri khas amalan pada Ramadan yang sungguh baik adalah menimbulkan sikap pemurah atau dermawan bagi sesama, terutama bagi saudara kita yang sangat memerlukan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang paling pemurah, lebih-lebih pada Ramadan (HR Bukhari dan Muslim).

Sikap pemurah atau dermawan itu menumbuhkan empati dan rasa mau berbagi dengan orang lain.
Orang-orang beriman  dilatih melalui puasa agar menjadi insan yang mampu merasakan derita sesamanya dan melahirkan sikap ta’awun, yakni semangat saling menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus dan baik.

Jika dia kaya, harus berbagi dengan saudaranya yang miskin. Kalau dia berilmu, harus mau mencerdaskan orang lain dengan ilmunya. Manakala dia memiliki kekuasaan, dapat dimanfaatkannya untuk menyejahterakan orang banyak.

Apabila dia berkecukupan dalam apa saja terpanggil untuk menolong siapa saja yang kekurangan. Semangat tolong-menolong dan saling bekerja sama ini merupakan perintah dalam Islam. Allah berfirman yang artinya, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan  permusuhan (Q.S Al-Maidah: 2).

Ajaran ini sangat mulia karena setiap Muslim diajarkan untuk mau ber-ta awun dengan siapa pun dalam hal-hal yang baik, sebaliknya jangan bekerja sama dalam segala keburukan.
Kemudian ibadah puasa mampu mendorong untuk menumbuhkan ahlak yang mulia.

Berdasar sikap mental yang telah  berbentuk sabar, maka dalam berperilaku sosial berkumpul dan berinteraksi dengan orang lain sama sekali tidak memunculkan rasa kebencian, iri, dengki, marah atau lainnya.

Semua  orang dalam komunitasnya  ditempatkan dalam kerangka dapat memberikan kontribusi secara fungsional terhadap diri seseorang  menurut status,  peran dan jenjangnya masing-masing.

Pada akhirnya, dengan ibadah puasa maka  tidak ada perasaan  ketersinggungan yang menimbulkan kemarahan, sehingga menyebabkan munculnya perbuatan yang  menyakiti baik kepada diri sendiri terlebih kepada orang lain. Sikap seperti ini tumbuh dan berkembang atas dasar  kuatnya  rasa kepatuhan dan kecintaan kepada Allah Swt secara ihlas lahir batin.

Kalau ibadah puasa dengan segala pengorbanan dengan merasa lapar dan dahaga sepanjang hari tidak mampu menghasilkan kekhusukan, ketawadlukan di hadapan Allah.

Tidak pula menghasilkan solidaritas sesama manusia, akan sulit mencari sarana lain untuk menumbuhkan solidaritas itu.

Semoga ibadah puasa Ramadan yang akan kita jalani mampu menjadikan orang-orang beriman memiliki Satu Rasa yang sama dalam kehidupan beragama dan sosial ditengah masyarakat.

___________
* Penulis adalah Permerhati masalah Politik, Sosial dan Agama.





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved