Minggu, 05 Mei 2024
Jepang Juara Piala Asia U23 2024, Putus Rekor Uzbekistan | DPD PKS Pekanbaru Rekomendasikan DR Muhammad Ikhsan Balon Walikota ke DPP | KPU Riau Siap Mutakhirkan 4.854.034 DP4 untuk Pilkada 2024 | Keji, Suami Pelaku Mutilasi Istri Sempat Tawarkan Daging Korban ke Ketua RT | Hebat!, 10 ribu Penari Riau Pecahkan Rekor Muri di Gebyar BBI BBWI Provinsi Riau 2024 | Gebyar BBI/BBWI dan Lancang Kuning Carnival Prov Riau Perhelatan Spektakuler, Pj Gubri: Ini Potensi
 
Internasional
China Kini Hadapi Virus Tick Borne, Apa Itu?

Internasional - - Minggu, 09/08/2020 - 11:11:25 WIB

SULUHRIAU-  Ketika pemerintah di seluruh dunia terus bergulat dengan pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung, China kini menghadapi ancaman virus lain.

Penyakit yang disebut Demam Parah dengan Sindrom Trombositopenia (SFTS) telah membunuh tujuh orang dan menginfeksi sedikitnya 60 lainnya. Penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui tick atau kutu (tick borne) itu memicu peringatan di kalangan pejabat kesehatan di negara itu.

Media setempat melaporkan bahwa kasus-kasu tersebut terkonsentrasi di Provinsi Jiangsu dan Anhui China Timur. Sementara lebih dari 37 orang didiagnosis dengan SFTS di Jiangsu pada awal tahun 2020, 23 orang kemudian ditemukan terinfeksi di Anhui, mengutip Sindonews yang melansir Indian Express.

Penyakit yang menular ke manusia melalui gigitan kutu ini pertama kali diidentifikasi oleh tim peneliti China lebih dari satu dekade lalu. Beberapa kasus pertama dilaporkan di daerah pedesaan di Provinsi Hubei dan Henan pada 2009.

Tim peneliti mengidentifikasi virus dengan memeriksa sampel darah yang diperoleh dari sekelompok orang yang menunjukkan gejala serupa. Menurut laporan Nature, virus itu membunuh setidaknya 30 persen dari mereka yang terinfeksi.

Menurut Sistem Informasi China untuk Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, tingkat kematian kasus saat ini berada di antara sekitar 16 dan 30 persen.

Karena tingkat penyebaran dan fatalitasnya yang tinggi, SFTS telah terdaftar di antara 10 penyakit prioritas teratas blue print Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Ahli virologi percaya bahwa kutu Asia yang disebut Haemaphysalis longicornis adalah vektor atau pembawa utama virus. Penyakit ini diketahui menyebar antara Maret dan November. Para peneliti telah menemukan bahwa jumlah total infeksi umumnya mencapai puncaknya antara April dan Juli.

Peternak, pemburu, dan pemilik hewan peliharaan sangat rentan terhadap penyakit ini karena mereka sering bersentuhan dengan hewan yang mungkin membawa kutu Haemaphysalis longicornis.

Para ilmuwan telah menemukan bahwa virus sering ditularkan ke manusia dari hewan seperti kambing, sapi, rusa, dan domba. Meskipun terinfeksi oleh virus, hewan umumnya tidak menunjukkan gejala yang terkait dengan SFTSV.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti China pada 2011, masa inkubasi antara tujuh hingga 13 hari setelah timbulnya penyakit. Pasien yang menderita penyakit ini biasanya mengalami berbagai macam gejala, termasuk demam, kelelahan, kedinginan, sakit kepala, limfadenopati, anoreksia, mual, mialgia, diare, muntah, sakit perut, perdarahan gingiva, kongesti konjungtiva, dan sebagainya.

Beberapa tanda peringatan dini penyakit ini yaitu demam parah, trombositopenia atau jumlah trombosit yang rendah, dan leukositopenia, yaitu jumlah sel darah putih yang rendah. Faktor risiko yang diamati pada kasus yang lebih serius termasuk kegagalan multi-organ, manifestasi hemoragik dan munculnya gejala sistem saraf pusat (SSP).

Virus ini juga menyebar ke negara Asia Timur lainnya, termasuk Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Sejak virus pertama kali ditemukan, jumlah kasus telah meningkat secara signifikan.

Pada 2013, sebanyak 36 kasus dilaporkan di Korsel. Jumlah itu meningkat tajam menjadi 270 pada 2017. Sementara itu, China mendaftarkan 71 kasus pada 2010 dan 2.600 pada 2016. Jumlah infeksi yang dilaporkan di Jepang meningkat 50 persen antara 2016 dan 2017, laporan Nature menyatakan.

Ketika jumlah kasus mulai meningkat di ketiga negara, pejabat kesehatan masyarakat mulai mendidik dokter lokal dan warga biasa tentang risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh gigitan kutu. Para ilmuwan menyatakan, karena semakin banyak orang yang menyadari virus dan penyakit yang ditimbulkannya, tingkat kematian akibat infeksi mulai turun secara signifikan.

Sementara vaksin untuk mengobati penyakit ini belum berhasil dikembangkan, obat antivirus Ribavirin diketahui efektif untuk mengobatinya.

Untuk menghindari tertular penyakit, berbagai otoritas pemerintah, termasuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China, mendesak masyarakat umum untuk menghindari mengenakan celana pendek saat berjalan melalui rumput tinggi, hutan, dan lingkungan lain di mana kutu cenderung berkembang.

Sebelumnya, wabah Bubonic juga muncul di China. Kasus penyakit yang lebih dikenal sebagai penyakit pes ini dikonfirmasi muncul di sebuah kota di Mongolia Dalam. (***)





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved