Kamis, 28 Maret 2024
303 Akademisi Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Adil di Sengketa Pilpres | Nekat Bobol Warung, Seorang Remaja Tertangkap Warga dan Diserahkan ke Polsek Siak Hulu | Koramil 02 Rambah Kodim 0313/KPR Rohul Berbagi Takjil pada Masyarakat | Tak Patut Ditiru, Viral Video Pungli Trotoar untuk Hindari Kemacetan | Nuzul Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan | Guru SD Ditemukan Membusuk di Desa Rimbo Panjang, Diduga Ini Penyebab Korban Meninggal
 
Sosial Budaya
Cadar dan Celana Cingkrang Bukan Indikator Radikalisme

Sosial Budaya - - Rabu, 11/12/2019 - 08:59:00 WIB

SULUHRIAU- Jangan menstigma tata cara berpakaian sebagai indikator radikalisme.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menilai penggunaan cadar dan celana cingkrang bukan indikator seseorang terpapar radikalisme. Ia menegaskan, berdasarkan fakta, banyak pelaku aksi terorisme yang tak menggunakan cadar atau celana cingkrang.

"Jadi, saya sudah bilang berkali-kali. Pak Mahfud (Menko Polhukam) sependapat dengan saya. Jangan menstigma tata cara berpakaian sebagai indikator radikalisme. Ini masalah mindset," kata Suhardi setelah rilis survei BNPT 2019 di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Suhardi menjelaskan, indikator semacam itu terbukti tak tepat jika berkaca pada aksi-aksi terorisme yang terjadi beberapa waktu lalu. "Seperti kejadian bom di Surabaya itu, pelakunya berpenampilan sewajarnya seperti masyarakat pada umumnya," ujar Suhardi.

Suhardi menekankan, persoalan radikalisme dan terorisme adalah masalah pemikiran, sehingga tak bisa dinilai dari penampilan fisik. "Jadi, tidak bisa kita bilang masalah jidat hitam (sebagai indikator). Beberapa direktur saya jidatnya hitam, tapi orangnya bagus. Nasionalismenya tinggi," ujarnya.

Survei BNPT 2019 mendapati Indeks Potensi Radikalisme secara nasional menurun. Meski demikian, BNPT mengaku tak akan menurunkan intensitas dalam mencegah radikalisme dan terorisme.

Survei yang dilakukan di 32 provinsi itu mendapati Indeks Potensi Radikalisme secara nasional tahun 2019 berada di angka 38,43 (skala 0-100). Sedangkan, tahun 2017, ada di angka 55,12. Artinya, potensi radikalisme secara nasional mengalami penurunan sebesar 16,69 poin.

Masih dalam survei, BNPT menemukan penyebaran konten radikalisme di media sosial sangat masif. Konten-konten itu didominasi oleh empat jenis konten keagamaan. Survei yang dilakukan sejak April hingga Juli 2019 itu mendapati Indeks Diseminiasi Media Sosial atau penyebaran konten yang memicu radikalisme secara nasional berada pada skor 38,33 (skala 0-100). Skor tersebut masuk dalam kategori tinggi mengingat penetrasi pengguna internet di Indonesia tahun 2018 mencapai 64,8 persen.

Penyebaran konten yang memicu radikalisme itu didominasi oleh empat jenis. Pertama, konten tentang nilai yang terkandung dalam ibadah dengan skor 40,42. Kedua, konten tentang tata cara ibadah yang wajib dengan skor 40,01.

Ketiga, konten tentang hari akhir dengan skor 39,28. Keempat, konten tentang kehendak Tuhan dengan skor 39,05. "Jika dikategorisasi, maka terpaan konten keagamaan yang dominan adalah konten yang terkait dengan fikih ibadah, hari akhir, dan qada’ qadar," tutur Suhardi.

Sedangkan, pada Indeks Kontra Radikal secara nasional, hanya ada di angka 11,68. Indeks tersebut masuk dalam kategori sangat rendah. Perilaku kontranarasi dengan penyebarluasan pesan-pesan perdamaian melalui media elektronik juga hanya di angka 5,85.

Suhardi mengatakan, dunia maya memang menjadi tempat penyebaran konten yang memicu radikalisme. Meski demikian, lanjut dia, Indonesia juga tidak bisa menutup diri dari perkembangan teknologi, termasuk media sosial, jika tak ingin tertinggal dengan negara lain. Oleh karena itu, hal-hal negatif yang ada di media sosial harus diwaspadai.

Ia pun menyebut, salah satu tugas BNPT adalah menjauhkan generasi muda bangsa dari konten-konten yang bisa memicu radikalisme. "Kalau dia terjebak dengan itu (radikalisme dan terorisme) maka tidak akan bisa berkontribusi. Padahal generasi muda kan masa depan Indonesia. Ini yang kita siapkan," tutur Suhardi.

Survei BNPT 2019 dilakukan pada bulan April hingga Juli 2019. Secara metodologi, sampel dalam riset ini diambil dengan menggunakan teknik multistage cluster random sampling dengan rumah tangga sebagai unit terkecil. Data dikumpulkan melalui wawancara tatap muka kepada 15.360 responden di 32 provinsi, dengan menggunakan kuesioner terstruktur.

Kriteria responden adalah mereka yang berusia di atas 17 tahun. Secara nasional, margin of error riset ini sebesar 0,79 persen pada rentang kepercayaan 95 persen.

Sumber: Republika.co.id
Editor: Jandri





 
 
 
Home | Daerah | Nasional | Internasional | Hukrim | Gaya Hidup | Politik | Sport | Pendidikan | Metropolis | Sosial Budaya | Kesehatan | Ekbis
Religi | Kupas Berita |Tokoh | Profil | Opini | Perda | DPRD Kota Pekanbaru | Tanjung Pinang-Kepri | Indeks
Pedoman Media Siber | Kode Etik Internal Perusahaan Pers |Redaksi
Copyright 2012-2021 SULUH RIAU , All Rights Reserved